Secara etimologi tafsir bisa berarti: الايضاح
والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan)
dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan
kata yang samar ).[1] Adapun secara terminologi tafsir adalah
penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan
lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.[2]
A.Sejarah Petumbuhan Dan Perkembangan Ilmu
Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata fassara yufassiru
tafsiiran( تفســير )
berasal dari kata فَسَّرَ yang
berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut
pengertian bahasa al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap dan melahirkan.
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia
dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah
yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu
tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman
modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat
periode yaitu :
1.Tafsir
Pada Zaman Nabi
Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari
ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah
mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua
sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan
yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an.
Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu
memberikan penjelasan kepada sahabatnya.
2.Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun
metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah (hadits), atau dengan
kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)
yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya.
Diantara
tokoh mufassir pada masa ini adalah Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman,
Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari
mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas
yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan
dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’.[3] Atau
paling kurang adalah Mauquf.[4]
3.Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini
tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir
dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu
tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas
yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair,
Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin
Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
3)-
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal
adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa
menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu
pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.[5]
3.Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode
yaitu;
Periode Pertama, pada
zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke
dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya.
Periode Kedua, Pemisahan
tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri.
Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim
dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran
sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
Periode Ketiga, Membukukan
tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa
menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang
shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil
tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai
terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para
ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi
dan Nasroni.
Periode Keempat, pembukuan
tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku terjamahan dari luar Islam. Sehingga
metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih
dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan).
Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para
mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti
Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan
Al-Khozin dan seterusnya.
Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu
membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang
keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi
Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi dengan
Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
B.Ta’wil
Secara
laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl(أوّل - يؤوّل ), artinya
kembali; atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali; al- iyalah yang berarti
al –siyasah yang berarti mengatur. Muhammad husaya al-dzahabi, mengemukakan
bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki dua pengertian :
Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.
Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau tidak.
Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs al- murad bi al-kalam). Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari suatu yang di informasikan.
Sedangkan
pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang
lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke
makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal
[As-Suyuthi, 1979: I, 173]. Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi mengharuskan
adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih
sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya
[tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah
dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Tentang perbedaan tafsir dan ta’wil ini banyak pendapat ulama yang pendapat tentang ini,dan pendapat ulama itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu sama lain, maka dari itu bias kita simpulkan sebagai berikut:
Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan ta’wil apa-apa yang bersangkutan paut dengan dirayah.
Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan ta’wil hanya menjelaskan secara global tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
Ta’wil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan para ulama dalam penafsiran itu.
Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara majazi sedangkan ta’wil menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.
Tentang perbedaan tafsir dan ta’wil ini banyak pendapat ulama yang pendapat tentang ini,dan pendapat ulama itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu sama lain, maka dari itu bias kita simpulkan sebagai berikut:
Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan ta’wil apa-apa yang bersangkutan paut dengan dirayah.
Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan ta’wil hanya menjelaskan secara global tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
Ta’wil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan para ulama dalam penafsiran itu.
Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara majazi sedangkan ta’wil menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.
C.Macam-Macam
Tafsir Dan Ta’wil
1.Macam-macam
tafsir berdasarkan sumbernya.
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
a).Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
b).Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
c).Tafsir Bil Isyariy, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
a).Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
b).Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
c).Tafsir Bil Isyariy, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.
2.Macam-macam Tafsir berdasarkan corak penafsirannya.
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang keilmuan
yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufassir memiliki
latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang dihasilkannya
pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya.
Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:
Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut:
a).Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi
sumbernya termasuk tafsir Isyariy.
b).Tafsir Fiqhy, corak
penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari segi sumber
penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk tafsir bilma’tsur.
c).Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-Ra’yi.
d).Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi.
e).Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir campuran), karena prosentase atar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.
3.Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya
c).Tafsir Falsafi, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat, termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian Ilmu Kalam. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak falsafi ini termasuk tafsir bir-Ra’yi.
d).Tafsir Ilmiy, yaitu tafsir yang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak ‘Ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi.
e).Tafsir al-Adab al-Ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada masalah-masalah sosial kemasyara-katan. Dari segi sumber penafsirannya tafsir bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga sebagian ulama yang mengkategorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir campuran), karena prosentase atar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya seimbang.
3.Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya
a).Metode Tahlily (metode Analisis)
Yaitu metode penafsiran ayat-ayat Alquran secara analitis dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkannya sesuai
dengan bidang keahlian mufassir tersebut.
b).Metode Ijmaly (metode Global)
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
c).Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75].
d).Metode Maudhu’i (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut
Macam-macam ta’wil
b).Metode Ijmaly (metode Global)
Yaitu penafsiran Alquran secara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar, tapi mencakup makna yang dikehendaki dalam ayat.
c).Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan)
Tafsir dengan metode muqaran adalah menafsirkan Alquran dengan cara mengambil sejumlah ayat Alquran, kemudian mengemukakan pendapat para ulama tafsir dan membandingkan kecendrungan para ulama tersebut, kemudian mengambil kesimpulan dari hasil perbandingannya [al-‘Aridh, 1992: 75].
d).Metode Maudhu’i (metode Tematik)
Yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir untuk menjelaskan konsep Alquran tentang suatu masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat Alquran yang membicarakan tema tersebut
Macam-macam ta’wil
1.Ta’wil yang jauh dari pemahaman, yakni ta’wil yang dalam
penetapannya tidak mempunyai dalil yang terendah sekalipun.
2.Ta’wil yang mempunyai relevasi, paling tidak memenuhi standar
makna terendah serta diduga sebagai makna yang benar.
D.SYARAT DAN ADAB PENAFSIR AL-QUR’AN
Untuk bisa menafsirkan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi beberapa kreteria diantaranya:
1)- Beraqidah shahihah, karena aqidah sangat
pengaruh dalam menafsirkan al-Qur’an.
2)- Tidak dengan hawa nafsu semata, Karena
dengan hawa nafsu seseorang akan memenangkan pendapatnya sendiri tanpa melilhat
dalil yang ada. Bahkan terkadang mengalihkan suatu ayat hanya untuk memenangkan
pendapat atau madzhabnya.
3)- Mengikuti urut-urutan dalam menafsirkan
al-Qur’an seperti penafsiran dengan al-Qur’an, kemudian as-sunnah, perkataan
para sahabat dan perkataan para tabi’in.
4)- Faham bahasa arab dan
perangkat-perangkatnya, karena al-Qur’an turun dengan bahasa arab. Mujahid
berkata; “Tidak
boleh seorangpun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berbicara tentang
Kitabullah (al-Qur’an) jikalau tidak menguasai bahasa arab“.
5)- memiliki pemahaman yang mendalam agar bisa mentaujih
(mengarahkan) suatu makna atau mengistimbat suatu hukum sesuai
dengan nusus syari’ah,
6)- Faham dengan pokok-pokok ilmu yang ada
hubungannya dengan al-Qur’an seperti ilmu nahwu (grammer), al-Isytiqoq
(pecahan atau perubahan dari suatu kata ke kata yang lainnya), al-ma’ani,
al-bayan,
al-badi’, ilmu qiroat (macam-macam bacaan dalam
al-Qur’an), aqidah shaihah, ushul fiqh, asbabunnuzul, kisah-kisah
dalam islam, mengetahui nasikh wal mansukh, fiqh,
hadits, dan lainnya yang dibutuhkan dalam menafsirkan.
Adapun adab yang harus dimiliki seorang
mufassir adalah sebagai berikut :
1. Niatnya
harus bagus, hanya untuk mencari keridloan Allah semata. Karena seluruh amalan
tergantung dari niatannya (lihat hadist Umar bin Khottob tentang niat yang
diriwayatkan oleh bukhori dan muslim diawal kitabnya dan dinukil oleh Imam
Nawawy dalam buku Arba’in nya).
2. Berakhlak
mulia, agar ilmunya bermanfaat dan dapat dicontoh oleh orang lain
3. Mengamalkan
ilmunya, karena dengan merealisasikan apa yang dimilikinya akan mendapatkan
penerimaan yang lebih baik.
4. Hati-hati
dalam menukil sesuatu, tidak menulis atau berbicara kecuali setelah menelitinya
terlebih dahulu kebenarannya.
5. Berani
dalam menyuarakan kebenaran dimana dan kapanpun dia berada.
6. Tenang
dan tidak tergesa-gesa terhadap sesuatu. Baik dalam penulisan maupun dalam
penyampaian. Dengan menggunakan metode yang sistematis dalam menafsirkan suatu
ayat. Memulai dari asbabunnuzul, makna kalimat, menerangkan susunan kata dengan
melihat dari sudut balagho, kemudian menerangkan maksud ayat secara global dan
diakhiri dengan mengistimbat hukum atau faedah yang ada pada ayat tersebut.
E.Penafsiran
Praktis Al Qur’an
Rasyid Rida (w. 1935), “murid terkemuka” Abduh[6],
secara umum dianggap sebagai pewaris pertama[7]
dalam hal tafsir praktis Al-Qur’an. Namun, seperti telah dikemukakan terdahulu[8],
ada beberapa perbedaan antara penafsiran Abduh dan Rida.
Penafsiran yang memberi segi-segi praktis sangat besar oleh Amin
al-Khuli. Dalam kajian ini al-Khuli tidak membahas lafadz-lafadz atau ayat-ayat
Al-Qur’an secara satu persatu, begitu pula dalam membahas surah atau
kelompok-kelompok surat Al-Qur’an, karena ia menganggap hal demikian “tidak akn
dapat menemukan sesuatu yang penting dalam Al-Qura’an”[9].
Kebanyakan tafsir-tafsir Mesir modern mengungkapkan tentang
filologi Al-Qur’an, tentang Al-Qur’an dan sejarah alam, dan tentang Al-Qur’an
dan masalah-masalah sehari-hari umat Islam di dunia. Bisa dikatakan bahwa ada
tiga aspek dalam tafsir-tafsir Mesir Modern; aspek sejarah alam, aspek filologi
dan aspek praktis.
G.Macam-Macam Kitab Tafsir
1. Nama
Kitab : جامع البيان في تفسير أي القران atau
yang lebih dikenal dengan tafsir al-Tabary. Pengarangnya Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir At-Thobary (224 – 310 H),
Jumlah jilid 12 jilid besar.
Keistimewaannya
: Tafsir ini merupakan referensi bagi para mufassirin terutama
penafsiran binnaqli/biiriwayah. Tafsir bil aqli karena istinbath hukum,
penjabaran berbagai pendapat dengan dan mengupasnya secara detail disertai
analisa yang tajam. Ia merupakan tafsir tertua dan terbagus.
2. Nama
kitab : تفسير القران العظيم lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir.
Jumlah
jilid 4 Jilid,
nama penulis Imaduddin Abul
Fida’ Ismail bin Amr bin Katsir (w 774 H).
Keutamaanya merupakan tafsir
terpopuler setelah tafsir At-Thobary dengan metode bil ma’tsur.
3. Nama
kitab : الجامع لأحكام القران atau Tafsir Al-Qurtuby.
Jumlah jilid 11
jilid dengan daftar isinya.
Nama
penulisnya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurtuby (w 671
H).
Keutamaanya
Ibnu Farhun berkata,” tafsir yang paling bagus dan paling
banyak manfaatnya, membuang kisah dan sejarah, diganti dengan hukum dan
istimbat dalil, serta menerangkan I’rob, qiroat, nasikh dan mansukh”.
4.
Nama
kitabأضواء البيان في إيضاح القران بالقران atau Tafsir Syinqithy.
Jumlah jilid : 9 jilid.
Nama
penulisnya : Muhammad Amin al-Mukhtar As-Syinqithy.
Metodologi
penulisannya menekankan penafsiran bil-ma’tsur dengan
dilengkafi qira’ah
as-sab’ah dan qiro’ah syadz (lemah) untuk istisyhad
(pelengkap). Menerangkan masalah fiqih dengan terperinci, dengan
menyebut pendapat disertai dalil-dalilnya dan mentarjih berdasarkan dalil yang
kuat. Pembahasan masalah bahasa dan usul fiqih. Beliau wafat dan belum sempat
menyelesaikan tafsirnya yang kemudian dilengkapi oleh murid sekaligus menantunya
yaitu Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim.
Referensi
Jansen,
J.J.G.1997.Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern.Yogyakarta:PT. Tiara Wacana
[1]. Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun 1/13,
Manna’ al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an hal :
323.
[2]. Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa
al-Mufashirun, (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405) hal. 8.
qur’an
ole mann’ al-qotton hal ; 340-342.
[6] .Menurut C.C. Adams, Islam and Modernism, hal 177.
[7] .Abd. al-‘Azim Ahmad al-Ghubashi, Ta’rikh at-Tafsir, 163: alwarith
al-awwal...
[8] .Bandingkan dengan hal 32.
[9] .Ibid., hal 11.
No comments:
Post a Comment