Ian Antono
A.Hadis dilihat dari Sanad Terakhir
Suatu hadis menjadi dha’if karena sanad-nya tidak
bersambung-sambung (tidak muttashil), rawi murid tidak bertemu dengan
rawi guru sehingga terdapat inqitha’ (gugur rawi) pada sanad. Hal
ini terbagi atas sebagai berikut
1.Gugur sanad pertama (guru mudawin), yakni rawi yang
menyampaikan hadis kepada mudawin. Yaitu hadist mu’allaq.
2.Gugur pada sanad terakhir atau rawi pertama (sahabat), yakni
tabi’in menisbahkan matan hadist kepada Nabi SAW. Yaitu hadist mursal.
Hadis mursal ada tiga macam:
1. Mursal jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) dapat diketahui dengan jelas sekali, ia tidak hidup sejaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2. Mursal shahabi, yaitu pemberitan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. atau menyaksikan apa yang ia beritakan, namun di saat Rasulullah SAW. Hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam Islam.
3. Murasal khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in, dan tabi’in yang meriwayatkan hidup sejaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadist pun darinya. Hadis mursal shahabi bisa shahih apabila sahabta yang meriwayatkannya itu adil.
1. Mursal jali, yaitu bila pengguguran yang telah dilakukan oleh rawi (tabi’in) dapat diketahui dengan jelas sekali, ia tidak hidup sejaman dengan orang yang digugurkan yang mempunyai berita.
2. Mursal shahabi, yaitu pemberitan sahabat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. atau menyaksikan apa yang ia beritakan, namun di saat Rasulullah SAW. Hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam Islam.
3. Murasal khafi, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tabi’in, dan tabi’in yang meriwayatkan hidup sejaman dengan sahabat, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadist pun darinya. Hadis mursal shahabi bisa shahih apabila sahabta yang meriwayatkannya itu adil.
Hadis dilihat dari segi kwalitas sanad dibagi menjadi 2:
1. Hadis maqbul.
1. Hadis maqbul.
Hadis maqbul adalah hadis yang dapat diterima atau pada
dasarnya dapat dijadikan hujjah, yakni dapat dijadikan pedoman atau panduan
pengamallan syariat, dapat dijadikan alat istinbath dan bayyan
terhadap Al-Qur’an, dan dapat di-istinbath-kan dengan ushul fiqh.[1]
Hadis maqbul dibagi menjadi 2:
a. Hadis Shahih
Hadis shahih menurut bahasa adalah hadits yang bersih dari cacat,dan Benar- benar berasal dari Rasulullah SAW.Sedangkan shohih menurut istilah ialah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil, dhobit dari rowi lain yang menyamainya sampai akhir sanad dan tidak mengandung kejanggalan dan tidak punya illat. Adapun syarat-syarat hadis shohih antara lain: rowinya bersifat adil, sempurna ingatannya, sanadnya tidak putus, tidak ada illat, tidak adanya kejanggalan.
Hadis shahih dibagi menjadi 2 yaitu: Shohih lidzatihi adalah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria keshahihannya dan tidak memerlukan penguat dari yang lain. Dan Shahih lighoirihi adalah hadis yang keshahihannya tidaklah berdasarkan pada sanadnya sendiri, tetapi berdasarkan pada dukungan sanad yang lain yang sama kedudukannya dengan sanadnya atau lebih kuat dari padanya.
b. Hadis hasan
Hasan menurut bahasa berarti bagus atau sifat yang disempurnakan dari lafadz اَلْحُسْنِ. Hadis hasan hampir sama dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya dalam hal ke-dhabith-an rawi. Pada hadis Shahih, rawinya tam dhabith, sementara pada hadis hasan, rawinya qalil dhabith.
Mereka (ulama’) mendefinisikan hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Adapun syarat hadits hasan antara lain : sanad hadits harus bersambung, adilnya rowi, sunyi dari kejanggalan, sunyi dari cacat.
2. Hadis mardud.
Hadis mardud atau hadis dha’if yaitu hadits yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis shoheh atau hadis hasan.
Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadis dhoif dikarenakan dua hal yaitu: gugurnya rowi dalam sanadnya, adanya cacat pada rowi atau matan (gugurnya rowi ialah tidak adanya satu, dua atau beberapa rowi, yang seharusnya ada dalam satu sanad baik dalam permulaan sanad, pertengahan maupun di akhirnya).
Macam-macam hadis dha’if.
Berdasarkan kepada sebab-sebab kedha’ifan suatu hadis, hadis dha’if terbagi menjadi beberapa macam,yaitu:
a. Pembagian hadis dha’if ditinjau dari segi terputusnya sanad :
1) Hadis muallaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
2) Hadis mursal adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya.
3) Hadis mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.
4) Hadis munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik di awal,di akhir atau di pertengahan.
5) Hadis mudallas adalah menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya seperti baik.
b. Pembagian hadis dha’if di tinjau dari cacatnya perawi :
1) Hadis maudlu’ adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang rowi (pendusta) yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
2) Hadis matruk adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhadisan.
Yang dimaksud dengan rowi yang tertuduh dusta adalah seorang rowi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang rowi tertuduh dusta bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh dapat diterima periwayatan hadisnya.
3) Hadits munkar adalah hadits yang perawinya memiliki cacat dalam kadar sangat kelirunya atau nyata kefasikannya.
4) Hadits mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
B. Hadis dilihat dari Kualitas Periwayat
Hadis shahih menurut bahasa adalah hadits yang bersih dari cacat,dan Benar- benar berasal dari Rasulullah SAW.Sedangkan shohih menurut istilah ialah hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rowi yang adil, dhobit dari rowi lain yang menyamainya sampai akhir sanad dan tidak mengandung kejanggalan dan tidak punya illat. Adapun syarat-syarat hadis shohih antara lain: rowinya bersifat adil, sempurna ingatannya, sanadnya tidak putus, tidak ada illat, tidak adanya kejanggalan.
Hadis shahih dibagi menjadi 2 yaitu: Shohih lidzatihi adalah hadis yang dirinya sendiri telah memenuhi kriteria keshahihannya dan tidak memerlukan penguat dari yang lain. Dan Shahih lighoirihi adalah hadis yang keshahihannya tidaklah berdasarkan pada sanadnya sendiri, tetapi berdasarkan pada dukungan sanad yang lain yang sama kedudukannya dengan sanadnya atau lebih kuat dari padanya.
b. Hadis hasan
Hasan menurut bahasa berarti bagus atau sifat yang disempurnakan dari lafadz اَلْحُسْنِ. Hadis hasan hampir sama dengan hadis shahih. Perbedaannya hanya dalam hal ke-dhabith-an rawi. Pada hadis Shahih, rawinya tam dhabith, sementara pada hadis hasan, rawinya qalil dhabith.
Mereka (ulama’) mendefinisikan hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya. Adapun syarat hadits hasan antara lain : sanad hadits harus bersambung, adilnya rowi, sunyi dari kejanggalan, sunyi dari cacat.
2. Hadis mardud.
Hadis mardud atau hadis dha’if yaitu hadits yang ditolak atau tidak dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum. Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis shoheh atau hadis hasan.
Secara garis besar yang menyebabkan suatu hadits digolongkan menjadi hadis dhoif dikarenakan dua hal yaitu: gugurnya rowi dalam sanadnya, adanya cacat pada rowi atau matan (gugurnya rowi ialah tidak adanya satu, dua atau beberapa rowi, yang seharusnya ada dalam satu sanad baik dalam permulaan sanad, pertengahan maupun di akhirnya).
Macam-macam hadis dha’if.
Berdasarkan kepada sebab-sebab kedha’ifan suatu hadis, hadis dha’if terbagi menjadi beberapa macam,yaitu:
a. Pembagian hadis dha’if ditinjau dari segi terputusnya sanad :
1) Hadis muallaq adalah hadits yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut.
2) Hadis mursal adalah hadits yang gugur dari akhir sanadnya.
3) Hadis mu’dhal adalah hadits yang gugur dari sanadnya dua orang perawi atau lebih secara berturut-turut.
4) Hadis munqathi’ adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik di awal,di akhir atau di pertengahan.
5) Hadis mudallas adalah menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya seperti baik.
b. Pembagian hadis dha’if di tinjau dari cacatnya perawi :
1) Hadis maudlu’ adalah hadits yang dicipta serta dibuat oleh seorang rowi (pendusta) yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
2) Hadis matruk adalah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhadisan.
Yang dimaksud dengan rowi yang tertuduh dusta adalah seorang rowi yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadis. Seorang rowi tertuduh dusta bila ia bertobat dengan sungguh-sungguh dapat diterima periwayatan hadisnya.
3) Hadits munkar adalah hadits yang perawinya memiliki cacat dalam kadar sangat kelirunya atau nyata kefasikannya.
4) Hadits mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
B. Hadis dilihat dari Kualitas Periwayat
Para ahli ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir,
masyhur dan ahad; dan ada juga yang membaginya hanya menjadi dua,
yakni hadis mutawatir dan ahad.
Pendapat pertama, yang menjadikan hadis masyhur berdiri sendiri, tidak
masuk bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, diantaranya
adalah Abu Bakar Al-Jassas (305-370H). Sedang ulama golongan kedua diikuti oleh
kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis msyhur bukan
merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi dua
bagian, mutawatir dan ahad.
1. Hadis Mutawatir
1. Hadis Mutawatir
Arti mutawatir
dalam bahasa berarti al-mutatabi’ (المتتا بع) berarti, yang datang kemudian, beriring-iringan,
atau beruntun. Secara istilah terdapat beberapa definisi, antara lain
sebagai berikut:
“Hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah orang besar yang menurut
adat mustahil meraka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.”.[2]
Hadis yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat
(Thabaqat)”.[3]
Dari berbagai definisi di
atas dapat dijelaskan bahwa hadis mutawatir adalah berita hadis yang
bersifat indrawi (didengar dan dilihat) yang diriwayatkan oleh banyak orang
yang mencapai maksimal di seluruh tingkatan sanad dan akal menghukumi
mustahil menurut tradisi (adat) jumlah yang maksimal itu berpijak untuk
kebohongan. Berdasarkan definisi di atas ada 4 kriteria hadis mutawatir, yaitu
sebagai berikut:
a. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadist agara bisa disebut mutawatir tidak boleh berjumlah empat, lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah lima orang, dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
.........jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh......(QS.Al-Anfal,8:65)
Ada yang menentukan sekurang-kurangnya 40 orang, mendasarkan firman Allah:
Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.( QS.Al-Anfal,8:64)
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di atas, sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah Hadis Mutawatir tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya ‘Ilmu Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tapi melebihi batas minimal yakni lima orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
b. Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.
c. Berdasarkan Tanggapan Pancaindra.
Perwataan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
Hadis mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri, yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis mutawatir. Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.
a. Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayakan oleh orang banyak yang susunannya redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya. Namun pengertian diatas perlu mendapat penjelasan yang lebih rinci, karena mutawatir lafzhi tidak diartikan mesti lafal dan redaksinya sama persis dari satu perawi yang lain, mungkin redaksi dan lafalnya berbeda tetapi satu makna dalam hukum dan mana yang ditunjuk jelas dan tegas.
b. Mutawatir ma’nawi
Mutawatir ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kuli).
c. Mutawatir ‘amali.
Perbuatan dan pengamalan syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi secara praktis dan terbuka, kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat adalah Mutawatir ‘amali.
a. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadist agara bisa disebut mutawatir tidak boleh berjumlah empat, lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah lima orang, dengan mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul ‘Azmi.
Ada yang menentukan 12 orang, mendasarkan firman Allah:
......dan telah Kami
angkat diantara mereka 12 orang pemimpin...(QS.Al-Maidah,5:12)
Ada yang menentukan sekurang-kurangnya 20 orang, mendasarkan firman Allah:.........jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh......(QS.Al-Anfal,8:65)
Ada yang menentukan sekurang-kurangnya 40 orang, mendasarkan firman Allah:
Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.( QS.Al-Anfal,8:64)
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan di atas, sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah Hadis Mutawatir tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya ‘Ilmu Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tapi melebihi batas minimal yakni lima orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawatir.
b. Adanya keseimbangan jumlah antara para rawi dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah berikutnya.
c. Berdasarkan Tanggapan Pancaindra.
Perwataan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra, yakni warta yang mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
Hadis mutawatir mempunyai nilai ‘ilmu dharuri, yakni keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh hadis mutawatir. Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma’nawi. Namun ada juga yang membaginya menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir ‘amali.
a. Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang diriwayakan oleh orang banyak yang susunannya redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat yang satu dan lainnya. Namun pengertian diatas perlu mendapat penjelasan yang lebih rinci, karena mutawatir lafzhi tidak diartikan mesti lafal dan redaksinya sama persis dari satu perawi yang lain, mungkin redaksi dan lafalnya berbeda tetapi satu makna dalam hukum dan mana yang ditunjuk jelas dan tegas.
b. Mutawatir ma’nawi
Mutawatir ma’nawi adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kuli).
c. Mutawatir ‘amali.
Perbuatan dan pengamalan syari’ah Islamiyah yang dilakukan Nabi secara praktis dan terbuka, kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat adalah Mutawatir ‘amali.
Sedangkan
kitab-kitab hadis mutawatir antara lain sebagai berikut.
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi.
b. Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi merupakan resume buku di atas.
c. Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Ja’far Al-kattani.
d. Al-La’ali Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
2.Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Perawi hadis ahad tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana dalam hadis mutawatir, ia hanya diriwayatkan satu, dua, tiga, empat dan atau lima yang tidak mencapai mutawatir. Hadis ahad ahad memberi faedah ilmu nazahari, yaitu ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat-sifat kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a. Hadis Masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer. Dari segi ini, hadis masyhur terbagi kepada :
1) Masyhur di kalangan para muhaditsini dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).
2) Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli hadis saja, ahli fiqih saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
3) Masyhur di kalangan masyarakat umum.
Kitab-kitab yang berisikan tentang kumpulan hadis masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma Iasytahara ‘ala Al-Alsimah, karya As-Sakhawi.
b. Hadis ‘Aziz
Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu tabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.
Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘aziz pun ada yang shahih, hasan,dan dhaif.
c. Hadis Gharib
Hadis gharib adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah satu thabaqahnya. Dinamakan demikian karena ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh terasing dari sanak keluarganya. Para ulama membagi hadist gharib menjadi dua berdasarkan letak keterasingannya :
1) Gharib Muthlaq
Gharib Muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu.
Gharib Nisbi yaitu hadis yang dalam sanadnya terdapat perbedaan yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Gharib nisbi berkaitan dengan jumlah perawi, namun lebih pada kondisi yang asing atau beda bila dibandingkan dengan kondisi sanad yang lain.
a. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi-Akhbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi.
b. Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi merupakan resume buku di atas.
c. Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Ja’far Al-kattani.
d. Al-La’ali Al-Mutanatsirah fi Al-Ahadits Al-Mutawatir, karya Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.
2.Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Perawi hadis ahad tidak mencapai jumlah banyak yang meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong sebagaimana dalam hadis mutawatir, ia hanya diriwayatkan satu, dua, tiga, empat dan atau lima yang tidak mencapai mutawatir. Hadis ahad ahad memberi faedah ilmu nazahari, yaitu ilmu yang diperlukan penelitian dan pemeriksaan terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki sifat-sifat kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Berdasarkan jumlah dari thabaqah masing-masing rawi tersebut, hadis ahad dibagi dalam tiga macam, yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib.
a. Hadis Masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer. Dari segi ini, hadis masyhur terbagi kepada :
1) Masyhur di kalangan para muhaditsini dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang umum).
2) Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli hadis saja, ahli fiqih saja, ahli tasawuf saja, dan sebagainya.
3) Masyhur di kalangan masyarakat umum.
Kitab-kitab yang berisikan tentang kumpulan hadis masyhur, antara lain Al-Maqasid Al-Hasanah fi ma Iasytahara ‘ala Al-Alsimah, karya As-Sakhawi.
b. Hadis ‘Aziz
Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu tabaqah saja, kemudian orang-orang meriwayatkannya.
Sebagaimana hadis masyhur, hadis ‘aziz pun ada yang shahih, hasan,dan dhaif.
c. Hadis Gharib
Hadis gharib adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah satu thabaqahnya. Dinamakan demikian karena ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain atau jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh terasing dari sanak keluarganya. Para ulama membagi hadist gharib menjadi dua berdasarkan letak keterasingannya :
1) Gharib Muthlaq
Gharib Muthlaq adalah hadis yang rawinya menyendiri dalam meriwayatkan hadis itu.
Gharib Nisbi yaitu hadis yang dalam sanadnya terdapat perbedaan yang membedakan dengan kondisi mayoritas sanad. Gharib nisbi berkaitan dengan jumlah perawi, namun lebih pada kondisi yang asing atau beda bila dibandingkan dengan kondisi sanad yang lain.
Hadis ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan atau
dhaif bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadis
ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadis ahad dapat dijadikan sebagai hujjah,
selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat
diterimanya hadis.
C. Hadis dilihat dari Klasifikasi
Periwayat
1. Hadis Qudsi, adalah segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT. kepada Nabi SAW, selain Al-Qur’an, yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.
2. Hadis Marfu’, adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik sanad hadis tersambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadist itu sahabat maupun lainya. Bahwa tiap-tiap hadis marfu’ itu tidak selamanya bernilai shahih atau hasan, tetapi setiap hadis shahih atau hasan, tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.
3. Hadis Mauquf, adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir. Adapun hukum hadis mauquf, pada prinsipnya, tidak dapat dibuat hujjah, kecuali ada qarinah yang
4. Hadis Maqthu’, adalah hadis yang disandarkan kepada tabiin atau orang yang sebahwanya, baik perkataan atau perbuaatan.
1. Hadis Qudsi, adalah segala sesuatu yang diberitakan Allah SWT. kepada Nabi SAW, selain Al-Qur’an, yang redaksinya disusun oleh Nabi SAW.
2. Hadis Marfu’, adalah perkataan, perbuatan, atau taqrir yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik sanad hadis tersambung atau terputus, baik yang menyandarkan hadist itu sahabat maupun lainya. Bahwa tiap-tiap hadis marfu’ itu tidak selamanya bernilai shahih atau hasan, tetapi setiap hadis shahih atau hasan, tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.
3. Hadis Mauquf, adalah hadis yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir. Adapun hukum hadis mauquf, pada prinsipnya, tidak dapat dibuat hujjah, kecuali ada qarinah yang
4. Hadis Maqthu’, adalah hadis yang disandarkan kepada tabiin atau orang yang sebahwanya, baik perkataan atau perbuaatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Http://nurulhusnayusuf-makalahku.blogspot.com/2011/04/hadist-mutawatir-dan-ahad.html
Http://www.abdulrahmansaleh.com/2011/11/pembagian-hadist-menurut-kualitas-sanad.html
Khaeruman, Badri.2010.Ulumu
Al-Hadis.Bandung:Pustaka Setia.
Majid Khon,Abdul.2010.Ulumul
Hadis.Jakarta:Amzah.
Suparta, Munzier.2011.Ilmu Hadis.Jakarta:Rajawali
Pers.
Solahudin,Agus.Suryadi,Agus.Ulumul
HadistI.Bandung:Pustaka Setia.
[1] . Endang
Soetari Ad., Ilmu Hadis, Bandung: Amal Bhakti Press, 1994, hlm : 168.
[2] Ahmad bin
Muhammad Al-Fayyumi, Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Khabir li
Al-Rafi’i, juzII, (Beirut: Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyaah,1398 H/1978 M), hlm. 321.
[3] Mahmud
Al-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadis, (Beirut: Dar Al-Qur’an
Al-Karim,1399 H/1979 M), hlm. 18.
No comments:
Post a Comment